5 Elemen Pembentuk Budaya Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (k3)

PERILAKU TIDAK AMAN (UNSAFE ACTS)
Source : Google Image

Sebuah budaya k3 yang positif yaitu ketika keselamatan dan kesehatan kerja (K3) memainkan peran yang sangat penting dan menjadi inti nilai dari mereka yang bekerja di sebuah tempat kerja. Sementara, budaya k3 yang negative terjadi jika keselamatan kerja dilihat sebagai sebuah hal yang marginal atau menjadi beban dari unit kerja

Didalam sebuah budaya k3 positif yang kuat, setiap orang bertanggungjawab terhadap keselamatan kerja dan menerapkan k3 dalam kehidupan sehari-hari. Setiap orang akan melakukan yang terbaik untuk identifikasi kondisi dan tingkah laku yang tidak aman dan merasa nyaman untuk melakukan intervensi terhadap hal yang tidak aman itu.

Mudahnya, dalam budaya k3 yang kuat setiap pekerja merasa nyaman untuk berjalan ke direktur pabrik atau CEO untuk membahas mengenai beberapa persoalan keselamatan kerja

Berikut adalah 5 elemen untuk membentuk Budaya K3:

1Budaya untuk Mencari Informasi (Informed Culture)

Tetap mendapatkan informasi dapat membantu organisasi untuk mencegah ketidakwaspadaan dalam ketiadaan kecelakaan kerja. Organisasi dengan budaya K3 yang kuat selalu waspada dan percaya kalau kondisi yang aman dapat bermasalah. Bila orang-orang tidak melihat apa pun yang bermasalah, mereka akan beranggapan kalau tidak akan muncul masalah sehingga mereka tidak diwajibkan untuk bertindak apa pun. Ini merupakan hal yang tidak tepat sehingga perlu usaha-usaha untuk mengikis anggapan tersebut .

Oleh karenanya, dalam ketiadaan peristiwa kecelakaan kerja dan dalam usaha untuk mempromosikan perhatian keselamatan kerja yang terjadi, sebuah organisasi harus membuat sebuah sistem informasi yang mengumpulkan, menganalisa dan membagikan informasi mengenai manusia, technical, organisasi dan faktor lingkungan yang menunjukkan keseluruhan sistem keselamatan kerja. Sayangnya, hal ini tidak semudah untuk melaporkan kecelakaan kerja

Banyak studinya terkait dengan kecelakaan kerja baik mayor maupun minor, selalu menunjukkan kalau sebelumnya sudah ada informasi yang telah dilaporkan dan dianalisa, informasi inilah sebagai tanda lemah mengenai munculnya kecelakaan kerja suatu saat nanti.

Sebuah organisasi yang berkomitmen untuk mencegah kecelakaan selalu menyadari informasi itu dan berupaya untuk mencegahnya dan mengumpulkan informasi lebih banyak. Pekerja dalam budaya itu juga didorong untuk melaporkan kondisi tidak aman, bahaya, prosedur yang tidak efisien, proses yang gagal, beberapa alarm, dan sebagainya untuk mencegah potensi kecelakaan.

2Budaya Melaporkan (Reporting Culture)

Organisasi dalam industri yang beresiko tinggi sedang meningkatkan kepemahaman mereka mengenai keselamatan kerja melalui laporan dan investigasi kecelakaan. Keengganan untuk menyelidiki dan berdiskusi mengenai kecelakaan dapat menyebabkan kehilangan peluang untuk mencegah bencana di hari esok dan dapat diterjemahkan sebagai tanda kalau produksi dihargai lebih dari pada keselamatan kerja.

Keengganan untuk melaporkan kecelakaan dapat terjadi ketika proses pelaporan terlalu rumit atau terdapat ketidakpercayaan diantara berbagai macam lapisan dalam organisasi. Ini bisa diatasi dengan memperkenalkan sistem pelaporan dimana identitas dari pelapor hanya diketahui oleh badan yang dipercayai biasanya yaitu departemen HSE.

Selanjutnya, nilai dari pelaporan sebaiknya terlihat dari aksi perbaikan, penyebaran pelajaran yang bisa di ambil dari pelaporan dan umpan balik ke pelapor. Ini memerlukan sumber daya yang cukup dan kompeten yang siap sedia untuk investigasi kecelakaan secara efektif

Kita mustahil bisa menginvestigasi semua laporan dengan kedalaman analisa yang sama, kita harus bisa untuk memprioritaskan. Parameter berikut harus menjadi kriteria untuk memprioritaskan laporan :

  • Resiko : Menilai keparahan dan frekwensi potensi dari kejadia
  • Peningkatan : Identifikasi potensi tinggi untuk ide peningkatan
  • Tema : Apakah peristiwa selalu berulang?

Peningkatan laporan tergantung oleh keterlibatan dari seluruh karyawan untuk menjamin kontribusi dan pelajaran dari proses perbaikan dan peningkatan (improvement). Untuk belajar dengan baik dari sistem pelaporan dan mengembangkan aksi efektif terus berlanjut maka 2 faktor ini harus diakui, faktor ini bisa menjadi indikator dari kedewasaan dari budaya K3 :

  • Menjamin independensi maksimum dari kecelakaan meskipun hasil investigasi menunjukkan kalau terdapat ketiadaan kendali dari manajemen
  • Secara aktif melibatkan manajemen lini untuk mengubah referensi menjadi tindakan sehingga mereka menjadi ikut serta didalam rekomendasi itu. Ini bisa membuat mereka mennyadari peran mereka untuk meningkatkan keselamatan kerja di masa depan

3Budaya Belajar (Learning Culture)

Budaya belajar yaitu sebuah perpanjangan alami dari budaya pelaporan karena sebuah laporan tidak akan bisa efisien kecuali jika organisasi belajar dari pelaporan yang karyawan buat.

Sebuah organisasi dengan budaya belajar yang kuat akan mengumpulkan informasi dari berbagai macam sumber, mengambil pelajaran yang berguna, membagi pelajaran yang di dapat dan menindaklanjuti proses pengembangan keselamatan kerja.

Organisasi pembelajar akan mencari pandangan yang berlawanan untuk mencari kesempatan belajar dengan lebih efisien. Mereka terbuka akan berita yang buruk sehingga informasi tidak “dikecilkan” begitu sampai ke manager. Laporan yang ada ialah laporan yang valid karena sistem pelaporan berdasarkan kejujuran dan kepercayaan. Karena organisasi secara jelas merespon laporan, karyawan merasa terdorong untuk selalu melapor sehingga menghasilkan budaya pelaporan yang efisien.

Organisasi pembelajar sangat sensitive dengan pelajaran dari berbagai macam sumber. Mereka bisa mengambil evaluasi dari sistem pelaporan internal, analisa root cause yang sistematik hingga belajar dari kecelakaan dari organisasi eksternal

Organisasi evaluasi memiliki karyawan profesional yang memilki pekerja untuk menganalisa informasi dan mengambil keuntungan dari hasilnya. Karyawan-karyawan ini memiliki ciri :

  • Mengidentifikasi masalah dan pelajaran
  • Mengembangkan gagasan dengan manager lokasi untuk mengatasi masalah
  • Mengimplementasikan pelajaran yang bisa di ambil ke seluruh organisasi

Organisasi pembelajar juga menghindari informasi penting yang hilang bersamaan dengan karyawan mereka yang mundur dari pekerjaan. Hal semacam ini karena mereka telah menganalisa, menyimpan, menyebarkan dan membangun informasi-informasi penting kedalam penerapan yang terus berkelanjutan.

4Budaya Fleksibel (Flexibility Culture)

Budaya fleksibel dalam sebuah organisasi akan memungkinkan organisasi untuk mempertahankan koordinasi dalam level yang efisien dan perhatian yang tepat mengingat terdapat perbedaan dalam sistem pengambilan keputusan karena perbedaan tingkat urgensi dan kehandalan dalam orang-orang yang ikut serta.

Budaya fleksibel ditandai dengan kemampuan untuk mengganti struktur organisasional dari hierarki konvensional ke struktur operasional yang lebih setara (flat) tanpa harus kehilangan kwalitas dalam pengambilan keputusan.

Ciri budaya fleksibel yaitu responsif, melibatkan dan beradaptasi dan fokus pada kemampuan seseorang sebagai sebuah individu untuk ikut serta dalam pemecahan masalah daripada kemampuan orang tersebut sebagai bagian dari struktur organisasi.

Sangat penting untuk sebuah perusahaan untuk memahami jangkauan kemampuan dari karyawannya dan bagaimana menggunakan skil itu ketika diperlukan. Banyak orang yang menghargai kesempatan untuk mempertunjukkan kemampuan mereka dalam organisasi yang pada ujungnya akan membuat budaya fleksibel di perusahaan akan lebih baik lagi.

Organisasi yang ingin mendapat budaya fleksibel harus melatih kemampuan mereka dan mengkaji tindakan yang diberikan untuk merespons ancaman dari kejadian, memastikan fleksibilitas structural yang sesuai dan efisien. Selanjutnya budaya fleksibel bercirikan sebagai berikut :

  • Mampu untuk menyesuaikan diri sendiri dalam menghadapi operasi kerja yang cepat dan beberapa bahaya yang muncuk
  • Memiliki kemampuan untuk memodifikasi struktur yang konvensional menjadi struktur yang lebih setara
  • Memiliki tingkat keahlian yang sesuai untuk membuat penilaian dan keputusan

5Budaya Adil (Just Culture)

Budaya Adil ialah sarana yang kuat untuk elemen-elemen lain dalam budaya k3. Harapan yang jelas, implementasi yang konsisten terhadap semua peraturan, sistem investigasi yang adil dan tanggapan yang adil terhadap mereka yang tidak mematuhi peraturan akan menjadi pesan yang kuat untuk seluruh karyawan mengenai hak dan kewajiban mereka yang benar.

Penting untuk sebuah organisasi agar menetapkan batasan-batasan yang tidak jelas. Misalnya pada masalah kekerasan dalam tempat kerja atau kecanduan alcohol, batasan itu secara terus menerus bergerak dan dinegosiasi kembali. Bahkan, beberapa kasus pelanggaran yang seharusnya jelas seperti kecanduan narkoba, pengendalian yang dilakukan oleh organisasi dapat bervariasi. Organisasi bisa saja menghukum pencandu narkoba atau malah mengirimnya ke pusat rehabilitasi sebagai bentuk dukungan untuk karyawan dalam keadaan sulit itu.

Oleh karenanya, sangat penting untuk menetapkan batasan-batasan dalam organisasi dan mengkomunikasikan ke seluruh karyawan dan diterapkan secara berkelanjutan.